Interaksionisme Simbolik: Pesantren dan Trans7

Ilustrasi: Benturan keras bukanlah akhir, melainkan awal dari reinterpretasi simbol yang memaksa kedua entitas untuk saling berinteraksi dan membentuk realitas sosial yang lebih kompleks.
        
        Belakangan ini, banyak sorotan yang ditujukan kepada pesantren dengan kalimat feodalisme-agama. Ditambah, liputan yang ditayangkan oleh media televisi Trans 7, menyorot dunia pesantren dengan narasi yang tidak baik sempat mengejutkan publik. Nampaknya, dunia pesantren yang menjadi simbol islam tradisional di Nusantara menurut laporan Martin Van Bruinesen dalam karyanya Pesantren, Kitab Kuning, dan Tarekat mulai banyak mengundang pembicaraan di wilayah publik. Menurut Van Bruinesen, lembaga pesantren, peranan, dan kepribadian kiai sangat menentukan dan berkarismatik sebagaimana dalam pengertian Weberian. Max Weber menjelaskan pemimpin karismatik memiliki peran krusial sebab pengaruh kuat yang dimiliki atas pengikutnya, berkat kualitas pribadi yang mampu membimbing secara spiritual dan moral. 
        
            Dengan demikian, tulisan ini mencoba mendudukan isu dan narasi yang tidak baik antara dunia pesantren dengan dunia secara global. Sebelum penulis masuk pada jantung pembahasan. penulis terlebih dahulu merefleksikan pengalaman sebagai santri. Menurut penulis, kenikmatan terbesar yang Allah Swt. berikan ialah ditakdirkan menetap di pesantren. Kami duduk sambil menatap wajah guru yang berseri sebab pancaran nur (cahaya) dari amaliyahnya. Untaian nasehatnya mampu menenangkan kami ditengah peliknya menguasai materi dan menghafal nadhom (syiir keislaman) baik fikih, nahwu, shorof, tasawuf, dan lainnya. Terkadang, kami merindukan pengawasan dan bimbingan guru-guru kami setelah menyelesaikan studi di pesantren. Mungkin, refleksi tersebut tidak hanya dirasakan oleh penulis secara pribadi, melainkan santri secara umum. 

     Tulisan ini, penulis sajikan untuk merespon tayangan Trans7 tentang pesantren dengan menggunakan pendekatan sosiologi. Di sini, interaksi manusia menjadi suatu keniscayaan, baik yang diwarnai oleh konflik, berbagi kasih, dan kepedulian. Dalam menarasikan fenomena tersebut, terdapat pendekatan fungsional yang diinisiasi oleh Emile Durkheim. Dia menekankan adanya fungsi agama dan masyarakat. Agama, sebagaimana institusi lain mempunyai peran dan fungsi bagi masyarakat, terutama dalam meningkatkan kohesi dan integrasi sosial.

         Namun, dalam pandangan pendekatan konflik Karl Marx, agama menyebabkan ketimpangan sosial masyarakat, karena agama digunakan oleh the rulling class (struktur kelas), yakni kaum borjuis untuk membenarkan tindakan manipulatif dan eksploitatifnya. Dalam hal ini, Marx cenderung mengabaikan agama dan mengasumsikan bahwa agama akan hilang ketika Masyarakat sudah mencapai tahapan sosialis. Jika kita amati lebih lanjut, teori agama Marx bermula dari dialektika materialisme. Konsep materialisme Marx merupakan derivasi persoalan dunia. Bahwa asal mula persoalan merujuk pada kondisi material kehidupan manusia. Kondisi-kondisi material suatu masyarakatlah yang menentukan pemikiran dan dunia ide manusia.

        Pada pendekatan Interaksionisme Simbolik George Simmel, Agama berfungsi menyediakan kelompok referensi untuk membantu orang menemukan dirinya sendiri. Tokoh-tokoh agama, orang-orang saleh, dan aulia merupakan kelompok referensi yang menjadi panutan atau teladan, karena dianggap mempunyai pengetahuan agama yang mumpuni. Hal itu, tercermin dalam perilakunya sehari-hari. Religiusitas individual terekspresikan melalui kepercayaan, ritual, dan pengalaman-pengalaman religius.  Pada fenomena ini, netizen kurang begitu jeli dalam melihat realita yang terjadi pada dunia pesantren. Mereka hanya melihat pesantren secara parsial, itupun sebab sederet berita-berita negatif yang muncul pada permukaan. Seharusnya, ketika kita ingin mengatakan bahwa gelas A lebih bagus dan elok dari pada gelas B, maka kita harus melihat unsur-unsur yang ada pada kedua gelas tersebut secara utuh.  Tidak mungkin kita akan menilai gelas A dengan kata lebih jika kita melihat gelas A hanya secara parsial.

            Inilah fakta masyarakat saat ini, mereka hanya melihat pesantren dari sisi yang menurut mereka terdapat unsur feodalisme. Penilaian tersebut tidak elok serta akan menjerumuskan diri pada kejumudan akal dan Nurani.  Dalam era digital, peran pesantren yang mampu menepis individualisme yang akan melemahkan modal sosial-jaringan hubungan dan norma bersama yang mengikat Masyarakat. Modal sosial dalam dinamika kemasyarakatan merupakan perangkat asosiasi antar manusia yang bersifat horizontal, mencakup jaringan dan norma bersama serta memiliki pengaruh terhadap produktivitas suatu masyarakat. Hal ini pernah disampaikan oleh Putnam dalam karyanya Bowling Alone. Berdasarkan fakta ini saja, peran pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki peran krusial, di mana pesantren mampu mengajarkan solidaritas dan kepedulian, membentuk insan yang humanis, dan memiliki nilai sosial tinggi. 

      Media Trans 7, tidak bisa kita pungkiri pengaruh dan kekuatannya di era transformasi digital, dapat merubah dan mempengaruhi pola hidup serta berfikir masyarakat. Peran tersebut dapat kita lihat dari dua sisi. Pertama, sebagai perangkat teknologi memainkan peran diseminasi informasi kepada audiens yang lebih luas dan heterogen. Kedua, sebagai institusi sosial yang terorganisasi atau memiliki hubungan jelas dalam mengumpulkan, memproses, mengemas, dan mendiseminasikan informasi bagi konsumsi publik. Pada strata ini, Masyarakat harus memilih dan memilah serta menelusuri validitas suatu informasi. Baik warta yang sebagaimana disampaikan oleh Trans 7 dan informasi-informasi lain yang terdapat di berbagai media TV, media sosial, dan lain sebagainya.

        Ringkasnya, perspektif fungsional Durkheim menekankan pada fungsi integratif agama bagi keseluruhan masyarakat. Di mana peran pesantren sebagai agama yang menjadi simbol dari islam tradisional mampu membentuk masyarakat yang madani dan berperadaban. Namun, pada perspektif konflik Karl Max yang menekankan pada peran agama dalam perubahan sosial. Maka pesantren harus mampu menjadi sistem sosial yang tidak memandang kelas dan berkeadilan. Pada perspektif Karl Max ini, penulis berasumsi bahwa netizen hanya memandang pesantren dengan rulling class, yang dapat menimbulkan polemik dan stigma negatif. Selain itu, kita harus mengingat proses kemerdekaan Indonesia, bahwa santri memiliki peran penting dalam proses tersebut, yang melampaui sekedar kelas sosial. Mereka membawa nilai perjuangan dan pengabdian yang luhur terhadap bangsa dan negara. Dalam literatur Islam karya Hujjatul Islam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Posisi muallim (pendidik/kiai) sangat Istimewa, bahkan melebihi posisi kedua orang tua karena mereka membimbing akal dan nurani murid, yang menjadi kunci ketaqwaan kepada Tuhan yang Esa.

          Hal lain, yang dapat ditemukan dalam perspektif interaksionisme simbolik George Simmel, bahwa agama (pesantren) sebagai penyedia kelompok referensi yang melahirkan panutan di tengah kemajemukan masyarakat.  Media Trans7, sebagai media dakwah di era modern harus mewartakan berita yang sebenar-benarnya untuk menjaga harmoni dan konstruksi sosial positif. Dalam hal ini, Interaksi antara pesantren dan media merupakan bentuk kerja sama dalam konstruksi sosial yang saling membentuk serta memberikan konsumsi informasi pada publik. Akhir kata, penulis meminjam istilah Michel Foucault, bahwa tayangan yang diwartakan oleh trans 7 akan menyebabkan diskontinunitas-keruntuhan fungsi sosial pesantren di tengah masyarakat. Oleh karena itu, fenomena ini menjadi ruang untuk berbenah bagi pesantren dan media. pesantren harus memperkokoh nilai budaya yang menyejukan dan menciptakan keharmonisan di tengah kemajemukan bermasyarakat, sedangkan media harus bertanggung jawab untuk menyajikan informasi yang adil. Santri sebagai insan yang pernah menghuni pesantren harus menanamkan nilai-nilai budi pekerti yang luhur di tengah-tengah kemajemukan Masyarakat sebagai bentuk Ta’dhiman wa Hurmatan kepada guru. Wallahu 'alam bisshowab.


…Al-Fatihah Ila Jami’i Masyayikhina…


Catatan: penulis menyadari tulisan ini jauh dari kata sempurna serta minimnya data yang disampaikan atas kritik terhadap media. Penulis berharap mendapat arahan perbaikan dari pembaca untuk tulisan lebih lanjut.

            


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama